Minggu, 21 Februari 2016

Keteguhan hati

"Wahai yang mulia, bersungguh-sungguhlah dalam berusaha untuk memiliki keteguhan hati dan kehendak, karena apabila engkau berang­kat dari dunia ini tanpa diperoleh keteguhan hati padamu untuk meninggalkan keharaman maka engkau adalah manusia dalam bentuk nya, tetapi tanpa hati. Engkau tidak akan dikumpulkan di alam itu, yaitu alam akhirat, dalam rupa manusia." Sebab, engkau adalah manusia dalam lahiriahnya. Adapun, dalam batiniahnya, engkau bukanlah manusia. Engkau tidak akan menjadi hakikat kecuali binatang liar, binatang buas, setan, atau gabungan dari bentuk-bentuk ini. "Karena alam itu adalah tempat tersingkapnya yang batin dan munculnya yang tersembunyi." Inilah firman Allah SWT: Pada hari ketika segala rahasia ditampakkan.[ QS ath-Thariq [86]: 9] Hakikat-hakikat itu tampak kepada manusia setelah mereka mengetahui yang tampak dari kehidupan dunia, tetapi mereka lalai terhadap akhirat.[QS ar-Rum [30]: 7] 

Ketahuilah, "Kelancangan dalam berbuat kemaksiatan membuai seseorang kehilangan keteguhan hati secara perlahan-lahan." Terdapat banyak riwayat yang menegaskan hakikat ini. Ketika seseorang bertanya kepada Imam a.s. tentang rahasia mengapa ia tidak mendapatkan taufik untuk menegakkan shalat malam, Imam a.s. menjawabnya, bahwa dosa dosa pada siang hari mencegah seseorang bangun pada malam hari.[ Ushul al-Kafi, jil. 2, hal. 272, , kitab al-Iman wa al-Kufr, bab adz-Dzunub, hadis no. 16.] 

Mengherankan jika seseorang mengatakan, "Allah tidak memberi­kan taufik kepadaku untuk melakukan ini dan itu ..." Apakah Allah SWT tidak memberikan taufik kepada hamba setelah Dia berfirman: Sesungguhnya Kami telah menunjukinya ke jalan yang lurus? Atau, apakah orang itu menginginkan taufik atau tidak menginginkannya? Maka ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir [QS an-Insan [76]: 3]. 

Jika seseorang menyibukkan keadaan dan pikirannya sepanjang hari dengan urusan-urusan keduniaan yang hina dan kepentingan-kepentingannya dan tidak menyempatkan diri untuk cara manusia berpikir tentang perkara-perkara yang bersifat spiritual yang akan meninggikannya, ma­ka ia tidak dapat mencegah pikirannya untuk berpikir tentang kemak­siatan. Sebaliknya, ada orang yang menghabiskan harinya dengan ber­pikir tentang urusan-urusan yang bersifat spiritual yang memperbaiki urusan agama dan dunianya, dan dia selalu mempraktikkan hal itu. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa hati adalah rumah putih dan berpikir tentang kemaksiatan—tanpa melakukannya—adalah asap hitam yang sedikit demi sedikit mengotori rumah putih itu sehingga seseorang terbiasa melakukan hal itu. "Barangsiapa berdiri di dekat tempat terlarang, maka hampir-hampir ia jatuh ke dalamnya." Kemakruhan memiliki balas dan keharaman pun memiliki balas, dan seseorang harus berjalan berhati-hati di luar batas kemakruhan agar tidak terjatuh ketika kakinya terpeleset—semoga Allah tidak memperkenankan—ke dalam keharaman, bahkan jatuh ke dalam kemakruhan. 

Bagaimanapun, kelancangan untuk berbuat kemaksiatan membuat seseorang kehilangan kemampuan untuk mendapatkan keteguhan hati, "dan mutiara yang agung ini terampas darinya," yang merupakan kete­guhan kehendak, yang dengannya Allah dipilih dan merupakan bekal yang paling utama bagi pejalan kepada-Nya. 

Ketika seseorang kehilangan keteguhan hatinya, maka setelah itu, seribu niat yang diniatkannya setiap hari untuk beramal tidak berguna baginya, karena dengan kelancangannya itu ia telah kehilangan kemam­puan untuk mengerjakan perbuatan salih. 

Ketika seseorang merasakan dirinya tidak mampu melakukan per­buatan salih maka ia berputus asa dan kehilangan harapan. Akibatnya, ia jatuh ke dalam kebinasaan—naudzu billah. 

Kemudian, Imam Khomeini r.a. mengutip salah satu penyebab penting hilangnya keteguhan hati dan kehendak dari gurunya, Syah Abadi r.a. Ia berkata," Guruku yang agung r.a. berkata, 'Kebanyakan penyebab hilangnya keteguhan hati dan kehendak adalah mendengarkan nyanyi­an," yang diremehkan sebagian orang dan dianggapnya sebagai dosa kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KAPAMALIAN

KAPAMALIAN Kapamalian dituliskeun téh lain pikeun jadi ageman, ngan supaya nyaho baé, yén kolot urang baheula mah dina hirup-kumbuhna téh...