Rabu, 02 Desember 2015

Hukum Taklifi

Hukum Taklifi dan Ciri-cirinya


Hukum taklifi adalah tuntutan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk mengerjakan ataupun meninggalkan suatu perbuatan. Hukum taklifi terdiri atas beberapa macam sebagai berikut;

a. Al-Ijab (Wajib)
Al-ijab yaitu tuntutan pasti atau perintah untuk dikerjakan. Jika seseorang meninggalkan tuntutan yang sudah pasti tersebut, dikenai sanksi atau hukuman. Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menyebutkan perintah Allah di antaranya ditunjukkan dengan adanya tanda perintah atau dalam tata bahasa Arab dikenal dengan fi’il amr. Contohnya pada ayat yang artinya, ” . . . . dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat . . . ”(Q.S. al-Baqarah [2]: 110). Dengan perintah itu, hukum salat dan zakat adalah wajib. Meskipun demikian, kadang bentuk perintah juga berarti sunah. Ciri-ciri lainnya dengan menggunakan lafal farada, kutiba, atau wajaba yang semuanya mengandung arti diwajibkan. Selain itu, ketentuan al-ijab bisa ditunjukkan dengan kalimat berita yang bermakna menyuruh. Hukum wajib ini dibagi menjadi beberapa macam.
Aspek
Wajib
Keterangan
Contoh
Yang dibebankan
‘ain



Kifayah
Dibebankan kepada tiap-tiap individu


Dibebankan oleh komunitas muslim, yang tidak bersifat personal
Salat fardu



Pengurusan jenazah
Waktu menunaikan
Mutlak



Mu’aqqad
Tidak ditentukan waktu pelaksanaannya

Ditentukan waktu pelaksanaannya secara pasti
Mengganti puasa wajib


mengerjakan salat fardu
Jumlah atau ukuran
Muhaddad


Gairu muhaddad
Telah ditentukan oleh Allah, jumlah dan ukurannya

Tidak ditentukan jumlah dan ukurannya
Ukuran membayar zakat


Perintah berinfak
Kebolehan memilih
Mu‘ayyan




Mukhayyar
Jenis perbuatan yang harus dikerjakan  secara jelas, tidak bisa memilih

Boleh memilih di antara beberapa alternatif
Perintah salat




wajib jika melanggar
sumpah, diwajibkan
memerdekakan budak, dapat juga dengan member makan sepuluh fakir miskin

b. An-Nadb (Sunah)
An-nadb adalah tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tidak secara pasti atau harus. Jika seseorang meninggalkan tuntunan tersebut tidak mendapat dosa. Contohnya ayat berbunyi, ”. . . Apabila kamu bermuammalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan hendaklah kamu menuliskannya” (Q.S. al-Baqarah [2]: 282). Kata hendaklah atau utamanya menunjukkan tuntunan, meskipun bukan menjadi keharusan. Hukum an-nadb dapat ditunjukkan dengan penggunaan kata yang berarti sunah, seperti yusannu kaza atau yundabu kaza . Bisa juga ditunjukkan dengan menggunakan kata perintah yang bermakna sunah, seperti penjelasan dalam Surah al-Isra - ’ [17] ayat 79 tentang sunahnya salat tahajud.

c. Al-Ibahah (Mubah)
Al-ibahah adalah penetapan Allah yang mengandung kebolehan memilih antara melakukan atau meninggalkannya. Perbuatan yang boleh dipilih ini dikenal juga dengan mubah. Contohnya pada ayat
yang artinya, ”Apabila telah dilakukan salat, maka bertebaranlah kamu ke muka bumi dan carilah karunia (rezeki) Allah . . . .” (Q.S. al-Jumu’ah [62]: 10). Dalam ayat ini penjelasan carilah karunia Allah, misalnya dengan berdagang, hukumnya dibolehkan. Ciri-ciri lain yaitu menggunakan kalimat la-junaha, la- haraja, la-isma, dan lainnya yang berarti tidak dilarang atau tidaklah berdosa. Dapat juga dengan tanda penggunaan kata uh.illa yang artinya dihalalkan.

d. Karahah (Makruh)
Karahah adalah tuntunan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tidak bersifat pasti atau harus sehingga jika melaksanakannya tidaklah berdosa. Perbuatan tersebut disebut dengan makruh. Contohnya sabda Rasulullah dalam riwayat Abu Daud yang menjelaskan bahwa perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talak. Meskipun talak halal, tetapi dibenci oleh Allah sehingga hukumnya makruh. Tanda-tanda karahah misalnya jika terdapat lafal karaha yang berarti dimakruhkan atau adanya lafal berbentuk perintah, tetapi yang tidak menghalalkan.

e. Tahrim (Haram)
Tuntunan atau perintah untuk tidak mengerjakan yang bersifat pasti. Tuntunan yang dilarang tersebut dikenal dengan istilah haram. Contohnya dalam ayat yang menjelaskan, ”. . . diharamkan bagimu bangkai, . . .” (Q.S. al- Ma’idah [5] ayat 3). Tahrim ditunjukkan dengan tanda-tanda kalimat yang bermakna pengharaman, seperti kata harramah urrima, atau la-yah illu, yang seluruhnya mengandung makna pengharaman atau tidak dihalalkan. Tanda lainnya, yaitu adanya kalimat yang berbentuk fi’il nahi atau kata kerja yang berarti larangan atau kata perintah untuk menjauhi. 

Penerapan Hukum Taklifi
Memahami ketentuan hukum taklifi sangat penting sehingga kita mengetahui ketentuan hukum mengerjakan sesuatu. Adakalanya suatu perbuatan harus dikerjakan, wajib ditinggalkan, dan boleh memilih antara mengerjakan atau meninggalkannya. Sebagai contoh, pada saat kita membaca Surah al-Baqarah [2] ayat 110, kita menjadi tahu bahwa mengerjakan ibadah salat hukumnya wajib. Ketentuan wajib di sini berarti bahwa perbuatan tersebut harus dikerjakan jika ditinggalkan akan mendapat dosa. Oleh karena mengetahui salat hukumnya wajib, kita perlu menerapkannya dengan selalu mengerjakan ibadah salat dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita meninggalkan kewajiban salat tersebut, kita akan menanggung dosa. 

Penerapan hukum taklifi sebagaimana dijelaskan di atas juga sangat terkait dengan ketentuan hukum wad‘i. Hukum wad‘i yaitu ketetapan Allah yang mengandung pengertian bahwa terjadinya suatu hukum adalah karena adanya sebab, syarat, ataupun penghalang. Sebagai contoh, ibadah salat yang hukumnya wajib dikerjakan, dalam kondisi-kondisi tertentu justru harus ditinggalkan. Misalnya ketika terjadi haid. Haid menjadi penghalang diwajibkannya salat bagi perempuan. Ketentuan hukum wad‘i secara lengkap sebagai berikut. 
a. Sebab
Sesuatu yang mendasari adanya hukum. Dengan adanya sebab maka ada hukum. Contohnya terbitnya fajar menyebabkan wajibnya mengerjakan salat Subuh.
b. Syarat
Sesuatu yang berada di luar hukum, tetapi keberadaan hukum tergantung kepadanya. Akan tetapi, adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum perbuatan. Contohnya sebelum salat disyaratkan berwudu terlebih dahulu. Akan tetapi, orang yang berwudu tidak selalu harus mengerjakan salat.
c. Penghalang 
Keadaan yang dengan adanya penghalang ini, tidak menyebabkan adanya hukum. Contohnya perempuan yang sedang datang bulan menyebabkan tidak diwajibkannya mengerjakan salat.
d. Sah
Perbuatan hukum yang telah terpenuhi aturannya, seperti syarat, sebab, dan tidak adanya penghalang. Contohnya salat Subuh sah jika telah terbit fajar, dikerjakan setelah berwudu, dan tidak ada penghalang bagi yang mengerjakan.
e. Batal
Terlepasnya hukum dari ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Contohnya bertransaksi jual beli secara riba. Jual beli tersebut dianggap batal karena mengandung fasad sehingga transaksinya pun dianggap tidak sah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KAPAMALIAN

KAPAMALIAN Kapamalian dituliskeun téh lain pikeun jadi ageman, ngan supaya nyaho baé, yén kolot urang baheula mah dina hirup-kumbuhna téh...